Rabu, 26 Maret 2008

Remy Sylado

Remy Sylado. Namanya tenar berkat beragam novel yang lahir dari buah pikirannya. Sayang, tak banyak yang tahu sosok pria kelahiran 12 Juli 1945 ini pernah disekap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saat itu, laki-laki yang mempunyai nama asli Yapi Panda Abdiei Tambayong ini berprofesi sebagai wartawan harian di Semarang. Dia berhasil memberitakan aksi anarkis pemuda PKI di Bandung ketika merusak sebuah bioskop.

Zaman itu, gerakan PKI sangat kuat di seluruh Jawa. Mereka mempunyai aturan agar tidak ada film asing yang diputar di bioskop Indonesia. Menggunakan nama Panitia Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias), puluhan pemuda itu menghancurkan Bioskop Majestik yang memutar film koboi berjudul "Beau Ank".

"Tidak disangka, pimpinan redaksi menjadikan berita itu headline. Alhasil, massa PKI marah. Mereka mengancam dan melempari kantor kami," kisah wartawan senior ini.

Pemberitaan itu tidak membuat Remy disekap oleh PKI. Remy justru menjadi tawanan sejenak oleh PKI ketika berkunjung ke rumah kakaknya di Yogyakarta. Tahun itu memang sedang gencar-gencarnya penumpasan terhadap gerakan PKI. Di Stasiun Tugu, dirinya melihat sebuah plang yang berisi tulisan PKI dan disertai mantel organisasinya yang seharusnya sudah dicopot.

"Saya melihat plang itu di salah satu bagian di stasiun. Saya kaget dan hendak mencopot tulisan tersebut. Tiba-tiba ada serikat buruh PKI yang melihat. Dalam sekejap, saya ditangkap dan dibawa ke salah satu ruang di stasiun yang sempit dan agak gelap," kenangnya.

Dia pun lantas diinterogasi dan ditanyai macam-macam. "Ketika saya menyebutkan nama, mereka langsung berteriak â€~Lah iya ini, kamu ini'. Saya menerka bahwa mereka membaca berita yang saya tulis itu. Tetapi saat penyekapan tersebut, saya diperlakukan manusiawi," ungkap pria yang menghabiskan masa kecil di Semarang ini.

Beruntung, dia bisa meloloskan diri saat penjagaan lengah. Sekuat tenaga, Remy lari dari penyekapan dan menaiki kereta yang tiba di Stasiun Tugu.  Setelah peristiwa itu, dirinya dipercaya memegang berbagai media di Bandung dan menjadi penulis resensi film dan kritikus musik di berbagai media.

Berbekal Penjualan Rekaman, Remy Beli Rumah

Sekira tahun 1983, Remy memutuskan meninggalkan dunia jurnalistik. Dengan berbekal kemampuan bermusik, dia dan beberapa temannya membuat album rekaman. Hasilnya, pada tahun itu, Remy bisa membeli sebuah rumah di kawasan Cipinang Muara yang ditempatinya hingga kini.

"Sampai sekarang, saya juga masih sering diminta menulis di salah satu kolom media massa. Yang pasti saya tetap menulis, namun kalau harus menjadi wartawan atau redaktur, saya pasti akan menolak," ujarnya tersenyum.

Hasilkan Novel Indah Melalui Mesin Ketik

Banyak orang yang tidak menyangka bahwa berbagai novel indah milik Remy berasal dari mesin ketik tua miliknya. Remy bercerita, dia merasa terganggu jika dalam menulis karyanya menggunakan komputer.

"Saat saya mengetik dan saya salah, kita harus menghapusnya dengan tipe-x. Nah, saat itulah proses yang berlangsung menjadi progres. Kalimat yang saya hapus, akan berubah menjadi kalimat lain. Saat menunggu itulah ada proses pemikiran yang panjang. Ini hal yang asyik dalam menulis," paparnya.

Dalam proses pembuatan karya novel, lanjut Remy, tidak perlu terburu-buru. Alasannya, karya yang dihasilkan nantinya akan menjadi cerita berkarakter kuat dan hidup.

"Satu karya sastra yang memiliki 300 halaman, bisa saya kerjakan dalam waktu satu bulan. Tetapi bergantung jenis karyanya juga. Kalau membutuhkan riset yang panjang, bisa sangat lama," imbuhnya.

Beberapa novel karangan Remy antara lain Kerudung Merah Kirmizi yang menang berbagai festival, Kembang Jepun, Cau Bau Kan yang sempat dibuat versi layar lebar, Sam Po Kong, Kirigma (antologi puisi tertebal dan memecahkan rekor Muri), serta Boulevard de Clichy.

Tidak ada komentar: