Jumat, 21 Maret 2008

Chalid Muhammad

JAKARTA - Kehidupan masa kecil yang akrab dengan lingkungan terekam jelas dalam benak Chalid Muhammad. Sejak usia dini, dia memang biasa bermain di alam. Kecintaan dengan alam itu membawa Chalid menjadi pejuang lingkungan.

Chalid yang menghabiskan masa kecil di sebuah desa kecil Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, masih ingat betul bagaimana ia dan teman sepermainannya biasa menghabiskan waktu. Bermain lumpur di sawah, berenang-renang dipantai yang hanya berjarak 200 meter dari rumahnya dan menyusuri sungai Torangga mencari udang-udang kecil. Semuanya membuat masa kecil Chalid Muhammad begitu dekat dengan alam.

Chalid yang dibesarkan dalam asrinya alam Parigi mengaku, pengalamannya semasa kecil yang dekat dengan alam lumayan mempengaruhi perjalanan hidupnya saat ini hingga akhirnya menjadi aktivis lingkungan.

Keterlibatannya dalam dunia aktivis lingkungan berawal saat dirinya menjadi mahasiswa. Dia aktif dalam sebuah kelompok studi di kampusnya, Universitas Tadulako Palu.

Saat teman-teman sebayanya memilih menghabiskan waktu dengan pacaran atau menjadi mahasiswa "kupu-kupu" (mahasiswa yang sehabis kuliah langsung pulang ke rumah) Chalid malah berkumpul dengan teman-temannya di kelompok studi Ibnu Chaldun. Dia mendiskusikan berbagai macam persoalan dari politik sampai hukum.

Pada akhir 80-an, sebuah isu hangat merebak di tengah acara diskusi. Saat itu, empat dusun di taman nasional Lore Lindu di Sulawesi tengah akan ditenggelamkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Sebagai mahasiswa kelompok diskusi, Chalid dan teman-temannya merasa terpanggil ikut membantu masyarakat di desa itu untuk mempertahankan tanahnya dengan memberikan saran bagaimana mempertahankan hak mereka atas tanahnya.

"Desa mereka akan ditenggelamkan sama seperti yang terjadi di Kedung Ombo. Ketika itu kami berpikir, tidak benar sebuah pembangunan energi untuk masyarakat kota membuat masyarakat desa terusir dari tanah leluhurnya, di mana mereka memiliki hubungan batin dan sejarah terhadap desanya," kenang Chalid.

Selama melakukan advokasi itu, waktu Chalid terbagi antara ruang kelas dan hutan belantara. Dia menyempatkan diri menyusuri jalan setapak untuk menemui penduduk desa. Demi mencapai desa yang berada dalam hutan nasional Lore Lindu itu, Chalid dan teman-teman kelompok diskusinya menempuh perjalanan empat jam dengan berjalan kaki atau tiga jam perjalanan jika menggunakan kuda.

Seusai lulus sebagai sarjana hukum, Chalid sempat menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin, namun itu tidak berlangsung lama. Chalid kembali terpanggil mengadvokasi masyarakat korban tambang saat dirinya berkenalan dengan seorang korban pertambangan di Banjarmasin yang membutuhkan bantuan hukum. Akhirnya, dia memutuskan mempelajari lebih dalam ilmu hukum pertambangan.

Dari sinilah pria kelahiran 1965 ini mulai intensif melakukan advokasi terhadap masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan konflik pertambangan. Pada 1994, Chalid bergabung dengan Walhi di Jakarta. Dia pun semakin larut dalam isu-isu lingkungan di tanah air karena dipercaya sebagai koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang berdiri pada 1996.

Menjadi aktivis lingkungan membuat Chalid kerap berinteraksi dengan masyarakat adat. Dia mengaku mengagumi beberapa tokoh masyarakat adat karena gigih berjuang membela hak meski diancam kekerasan.

Salah satu pengalaman yang tidak bisa ia lupakan adalah ketika melakukan advokasi di Paringin, Kalimantan Selatan pada 1992. Dia bertemu seorang warga desa yang mengalami kebutaan karena mempertahankan kebun karetnya.

"Dia sangat gigih memperjuangkan haknya, meski akhirnya dianiaya karena menolak pohon karetnya dibayar Rp75 rupiah per batang. Sama dengan harga satu batang rokok pada saat itu. Saya tidak bisa lupa karena saya tidak berhasil memperjuangkan tanahnya yang dirampas sebuah perusahaan tambang Australia," kisah Chalid sambil menerawang.

Antara Walhi dan Keluarga

Menjadi aktivis tidak bisa dibilang sebagai tugas ringan. Lantaran padatnya kesibukan membuat Chalid harus merelakan waktu lebih banyak dihabiskan di Walhi ketimbang untuk keluarga. Meski demikian, Chalid mengaku kurangnya waktu untuk keluarga tidak menjadi masalah besar yang menggangu. Sebab sang istri mendukung penuh aktivitasnya dan jarang mengeluh.

Sebagai seorang ayah, Chalid juga kerap merasakan kerinduan membuncah jika lama tidak bersua dengan kedua anaknya, Sakila Faliha (5) dan Ahmad Hisab (3). Untuk itu, jika ada waktu senggang Chalid lebih memilih menghabiskan waktu bersama kedua anaknya.

Buktinya, saat okezone mengajukan janji pertemuan wawancara dengan pria hitam manis ini, Chalid menyatakan keberatan. "Wah jangan hari Minggu dong. Saya sudah lama tidak bersama anak-anak," pintanya.

Menyiasati aktivitasnya yang padat, Chalid mengaku kerap meluangkan waktu untuk memandikan anaknya pada pagi hari atau sekadar mengantarkannya ke sekolah sebelum dia beraktivitas.

Saat ini, Chalid mengaku menikmati aktivitasnya. Hanya saja, dia merasa sedikit terganggu jika dianggap mendramatisir persoalan lingkungan. Padahal, tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia semakin parah dan pemerintah kurang responsif.

"Dalam kasus-kasus lingkungan, pemerintah sering malah membela perusahaan daripada rakyatnya," tutur Chalid.

Disinggung mengenai rencana hidupnya ke depan, Chalid mengaku belum tahu apa yang akan dia lakukan kelak. Yang ada dalam benaknya, dia akan tetap konsisten berupaya memperjuangkan lingkungan hidup.(fit)

Nama : Chalid Muhammad

Tempat Tanggal Lahir : Parigi, 10 Desember 1965

Agama : Islam

Pendidikan : 1985-1990 Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu

Pekerjaan : - 1992 s/d 1994 Dosen Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin

- 1994 s/d 2005 Jaringan Advokasi Tambang
- 2005 s/d 2008 Direktur Eksekutif Walhi ()

Tidak ada komentar: