Senin, 24 Maret 2008

Pemilihan GUBSU ???

Lemahnya etika politik yang berakumulasi dengan mental arogan, bisnis politik, sikap meremehkan hukum dan mental tidak siap kalah, merupakan arus politik yang berpotensi menghancurkan pilar-pilar demokrasi dan pelaksanaan pilkada yang damai, berkualitas dan berbudaya sesuai aspirasi mayarakat. (IW Geriya, Antropolog)

Dalam realitas kehidupan politik yang cenderung bergerak makin tegang dan menjurus ke arah konflik, perlu dipilah faktor-faktor yang berpotensi sebagai sumber konflik. Terkait dengan pilkada, diversifikasi sumber konflik sangat beragam dan dapat diidentifikasi atas beberapa faktor dominan.

Di antaranya, dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk diprovokasi. Pola kompetisi tidak sehat melalui intervensi kekuasaan, politik uang, dan arogansi. Kemudian, sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan terjerumus ke deviant politik. Terakhir rapuhnya simbol perekat dan pemersatu mencakup nasionalisme, etnisisme, dan etika politik.

Dalam tataran Pemilihan Umum Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu), yang akan digelar April 2008, pemikiran di atas dapat juga dijadikan bahan sebagai langkah pembelajaran. Pembelajaran terhadap potensi konflik yang kini sudah mulai ditebar oleh sejumlah balon Gubsu dengan metode ‘kampanye’ masing-masing. Potensi konflik ini yang harus dicegah atau jika tidak mungkin, diminimalisir saja, agar tidak menimbulkan persoalan besar terkait keamanan di Sumatera Utara.

Geriya menukilkan, elite politik dituding berpotensi besar sebagai aktor provokasi konflik, baik konflik horizontal, vertikal maupun amuk massa. Walaupun dalam kenyataan, semua orang berpotensi sebagai provokator konflik.

Kesadaran, introspeksi dan reposisi diri dalam proses penjalaran dan akselerasi konflik sangat diperlukan, sehingga setiap orang memiliki komitmen untuk meminimalisasi dan meredam gerak konflik, bukan sebaliknya.

Mencermati arus politik dalam Pilgubsu, aktor-aktor public yang ambisius, materialis, arogan. Aktor politik yang tidak rela melepas nikmatnya kekuasaan, sudah tampak mewarnai cakrawala politik Sumatera Utara. Kondisi semacam ini harus diakui memang ada dalam Pilgubsu 2008, hal ini yang harus diwaspadai. Lingkungan sosial yang fragmentatif, anomi, heterogen dan memiliki akar sejarah konflik, lingkungan konflik yang telah terjangkiti budaya kekerasan bukan tidak mungkin muncul premanisme politik, perkelahian antar kelompok atau antar pendukung parpol pendukung calon.

Tim Peneliti LIPI menemukan bahwa konflik antar elit politik lokal pasti terjadi dalam setiap pemilihan kepala daerah. Sebagai pembelajaran demokrasi, pilkada memang belum mampu menyemai desentralisasi demokrasi.

Beragam konflik itu terwujud dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk konflik kepentingan antarelite dan berimbas pada konflik horizontal di masyarakat dan tarik-menarik antara intervensi pusat dan resistensi lokal.

LIPI meletakkan semua itu, sebagai pencorengan proses demokrasi yang dengan susah payah dibangun. Kisruh pilkada akhirnya seperti elegi yang bersenandung di semua daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi lokal. Nyaris tidak ada satu daerah pun yang sepi dari konflik.

Parahnya, sering kali konflik antarelite yang melibatkan massa pendukungnya juga berujung pada anarki. Pemblokadean jalan-jalan poros vital yang berakibat terganggunya fasilitas publik, bentrok dengan aparat, sampai menggembok kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah dan anarki lain adalah serangkaian aksi yang dijumpai dalam proses pilkada.

Rentetan konflik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung diprediksi akan segera dimulai dari proses penjaringan calon kepala daerah. Potensi konflik horizontal ini juga bisa mencuat di daerah- daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah normal-normal saja, terutama karena faktor kedekatan antara kandidat dan pendukungnya.

Pilkada 2005 di Binjai misalnya, dapat dijadikan sebagai tolok ukur atau paling tidak contoh kasus konflik Pilkada di Sumut. Konflik yang diidentifikasi bermula dari adanya keinginan tiga pasangan calon walikota agar pencoblosan ditunda karena banyaknya masalah.

Massa mengepung Kantor KPU Binjai dan merusak serta memecahkan kaca kantor KPU Binjai. Di tengah serbuan massa yang emosional, KPU Binjai mengeluarkan surat yang isinya membatalkan tentang penundaan pelaksanaan pilkada tersebut. Kontroversi pelaksanaan pilkada yang disertai unjuk rasa ribuan orang terus berlangsung di Kota Binjai, Sumatera Utara. Tentu meresahkan masyarakat. Karena pesta demokrasi itu malah memicu kerusuhan. (diolah dari berbagai sumber)

Bagaimana dengan Pilkada Gubsu 2008? Just wait and see…. Cuma itu lah!
« Saat Pencoblosan, Awas Mobilisasi Penduduk dari Luar Sumut
Saat Terakhir hingga Rudolf ‘Terbuang’ »

Tidak ada komentar: